Hope, Faith, and Love

Posted in Uncategorized on June 20, 2014 by ivanwidyarsa

Like a boy playing in a garden while his parents are watching. The child happily and with great curiousity explores his surroundings.

That’s hope, or dream.

He dares to play and explore because he knows that his parents are around. He can go back anytime he wants, and if trouble comes, he believes that his parents will come for him.

That’s faith.

The parents let the boy enjoy himself and explore the surroundings because it’s good for his growth. They are always ready to help him whenever trouble comes, and accompany him whenever he asks them.

That’s love.

(A personal analogy about human’s hope and faith, and God’s love.)

Masa Lalu, Masa Kini, Masa Depan

Posted in Uncategorized on February 26, 2010 by ivanwidyarsa

Dia yang tinggal di masa lalu
tak mampu melihat masa depan

Dia yang tinggal di masa depan
tak mampu melihat masa lalu

Dia yang tinggal di masa kini
mampu melihat keduanya

Terpaku pada masa lalu
melupakan masa kini
terbuai keagungan silam
terendam lumpur masa lalu

Terpaku pada masa depan
melupakan masa kini
mimpi di siang bolong
geram pada kenyataan

Hidup di masa kini
melupakan masa lalu
terjebak kesalahan sama
tak tahu substansi

Hidup di masa kini
melupakan masa depan
hidup tanpa harapan
hidup terjebak dunia

Hiduplah di masa kini
Jangan lupakan masa lalu
Jangan abaikan masa depan
Hidup penuh arti
Hidup penuh harapan

Jakarta, 24 Februari 2010

The Three Roses

Posted in Personal Life, Puisi on December 20, 2009 by ivanwidyarsa

The first rose is for you..
A woman who was only a dream for me

The second rose is for you..
A woman who is beside me now

The third rose is for you..
A woman who I want to spend my life with

Those three roses are red
That means these three sentences

I did love you
I do love you
and I will love you til the end of my life

Sedikit Mengenai Lelucon

Posted in Tulisan Iseng with tags , on May 19, 2009 by ivanwidyarsa

Lelucon, berasal dari kata lucu yang diulang, ditambah dengan akhiran -an. Lucu-lucu luruh menjadi lelucu. Lelucu + an menjadi lelucuan, u dan a luruh menjadi o, sehingga menjadi lelucon.

Oke, cukup pelajaran Bahasa Indonesianya (tapi kalo ada sanggahan terhadap statement di atas, boleh-boleh saja kok). Lelucon adalah salah satu bentuk interaksi sosial manusia. Jika beberapa orang berkumpul dalam suasana santai, dapat dipastikan satu atau dua lelucon pasti dilontarkan. Beberapa orang bahkan kehadirannya dinanti-nantikan orang-orang lain hanya karena dia “lucu”, bisa membawakan lelucon-lelucon dengan baik sehingga mencerahkan suasana. Dan beberapa orang lain memiliki nilai lebih di mata orang lain karena dia memiliki “selera humor yang baik”.

Apapun dampak lelucon bagi kehidupan sosial Anda, tujuan dari sebuah lelucon pada hakekatnya hanya satu, yaitu membuat orang lain tertawa.

Media Penyampaian Lelucon

Berkaitan dengan media penyampaian lelucon, hanya hal-hal ini yang perlu saya garisbawahi :
a. Ada lelucon yang hanya lucu jika ia ditampilkan dalam bentuk gambar
b. Ada lelucon yang hanya lucu jika ia diucapkan
c. Ada lelucon yang hanya lucu jika ia dalam bentuk tulisan
d. Ada lelucon yang harus dilakukan dengan gerakan
e. Ada lelucon yang membutuhkan “korban”
Untuk poin a-d, saya anggap sudah jelas (hmmm…. oke, jujur saja, saya malas memberikan contoh). Nah, saya akan menjelaskan poin e, dimana kadang kala sebuah lelucon memang memerlukan “tumbal” untuk dapat membuat orang lain tertawa. Misalkan ada lelucon seperti ini.

“Pada suatu hari, A dan B pergi bersama naik angkot. Pada suatu kesempatan, A mengeluarkan mukanya dari jendela angkot, dan B mengeluarkan pantatnya dari jendela angkot. Dan orang yang melihat mereka menyangka mereka kembar.”

Saat berkumpul dengan teman-teman Anda, coba gantilah A dengan nama teman Anda, dan B dengan Anda, maka lelucon ini akan menjadi lebih lucu. Tetapi jangan sampai salah, jika anda terbalik mengganti A dengan Anda sendiri dan B dengan nama teman Anda, itu namanya bunuh diri. Yah, tapi itu pilihan. Dan memang untuk menghindari sakit hati, terkadang lebih baik “korban” dari lelucon Anda adalah Anda sendiri.

Target : Audience

Pada suatu malam, tiga orang vampir bertemu di sebuah bar. Mereka kemudian unjuk kemampuan. Vampir pertama, dari Amerika berubah menjadi kelelawar, segera terbang pergi dengan kecepatan penuh. Setelah 10 menit dia kembali dengan mulut berlumuran darah. Dia berkata pada teman-temannya “Lihat desa di sebelah sana? Sapinya sudah habis saya santap!”

Vampir kedua, dari Romania, tidak mau kalah. Segera dia berubah menjadi kelelawar, dan pergi juga dengan ngebut. Setelah 5 menit, dia kembali dengan mulut berlumuran darah. Dia lalu berkata pada teman-temannya “Lihat desa di sebelah sana? Penduduknya sudah habis saya santap!”

Vampir ketiga, dari Indonesia, juga tidak mau kalah. Ia (seperti dua vampir sebelumnya) merubah diri juga menjadi kelelawar, dan terbang pergi dengan kecepatan yang tidak kalah dengan dua vampir sebelumnya. Setelah 10 detik, dia sudah kembali dengan mulut berlumuran darah. Dia berkata kepada teman-temannya, “Kalian lihat pohon besar di sebelah sana? Saya tadi tidak lihat…”

Cartoon Vampire

Ini pengalaman pribadi saya (bukan cerita di atas, tapi apa yang akan saya katakan di bawah..). Ketika saya mendengar lelucon di atas, saya langsung tertawa terbahak-bahak.

Di lain kesempatan, pada malam santai di sebuah pelatihan dengan peserta dari LSM-LSM dari seluruh penjuru Indonesia, saya melemparkan lelucon di atas, lelucon yang menurut saya sangat lucu. Namun apa yang terjadi? Selesai saya menceritakan lelucon tersebut, semua hening. Beberapa detik kemudian baru ada yang berkata “Oh, maksudnya nabrak pohon ya..” dan yang lain baru tertawa ringan.

Yah, mungkin cara saya membawakan lelucon tersebut juga masih kurang. Namun ada hal lain yang saya tangkap dari pengalaman tersebut. Lelucon di atas adalah lelucon yang “kelucuan”- nya tidak eksplisit. Anda harus sedikit memutar otak untuk dapat menangkap “kelucuan”- nya. Analisis saya terhadap kejadian malam itu, orang-orang yang berkumpul waktu itu berasal dari taraf pendidikan yang beraneka ragam, dan memang sebagian menurut saya taraf pendidikannya tidak terlalu tinggi. Dan lelucon-lelucon lain yang muncul malam itu adalah lelucon-lelucon yang “kelucuan”-nya eksplisit.

Ada hampir tak terhingga lelucon yang ada di dunia ini. Namun Anda harus pandai-pandai memilih lelucon yang sesuai dengan audience Anda. Banyak hal yang perlu diperhatikan dari audience Anda, misalkan umur, jenis kelamin, dan taraf pendidikan. Bahkan kita juga perlu memperhatikan ras, agama, dan profesi dari audience Anda, karena beberapa lelucon terkait dengan hal itu.

Karena tujuan lelucon adalah membuat audience Anda tertawa, pelajarilah audience Anda sebelum anda melontarkan sebuah lelucon.

Practice Make Perfect

“A dan B membawakan lelucon yang sama. Tapi jika A yang menyampaikan, lelucon tersebut rasanya biasa-biasa saja, tetapi jika B yang menyampaikan, lelucon tersebut menjadi lelucon yang sangat lucu”

Selain isi dari sebuah lelucon itu sendiri, ada hal-hal lain yang dapat memberikan nilai tambah bagi lelucon tersebut. Cara Anda membawakan, ekspresi wajah Anda, suara Anda, sangat mempengaruhi kualitas lelucon yang Anda bawakan.

Seorang teman saya pada waktu kuliah bisa melontarkan lelucon tanpa ekspresi wajahnya berubah sama sekali. Dia tidak akan tertawa sampai lelucon yang ia sampaikan selesai ia sampaikan. Hal ini bagi saya menjadi sebuah nilai tambah. Ketika saya tanya, “Kok bisa sih mukamu tanpa ekspresi begitu?”, dia menjawab “Wah, ini hasil latihan bertahun-tahun waktu jaman SMA”.

Tidak bisa dipungkiri, memang beberapa orang memiliki bakat alami untuk menyampaikan lelucon. Tetapi percayalah, itu semua bisa dilatih. Menceritakan sebuah lelucon tanpa ada seorang pun tertawa selain Anda sendiri sudah pasti bukanlah sebuah pengalaman yang menyenangkan. Tapi teruslah mencoba, setiap kesalahan yang Anda lakukan memberi Anda pelajaran untuk memperbaiki diri Anda. Selamat mencoba terus, dan tetap semangat.

Just a Whisper

Posted in Puisi on May 5, 2009 by ivanwidyarsa

Smiling lips
Screaming heart

Answering mind
Saying untold questions

Not knowing the answers
But doesn’t need any answer

Jadi Pelanggan RS Borromeus….

Posted in Personal Life on December 9, 2008 by ivanwidyarsa

Ya, akhir-akhir ini saya jadi pelanggan RS Borromeus. Bukan opname untungnya, cuman periksa ke dokter umum aja. Dalam 2 bulan terakhir (kurun waktu 60 hari), sudah 3 hari saya berkonsultasi dengan dokter-dokter di sana

22 Oktober 2008

Setelah batuk yang tidak kunjung sembuh selama kira-kira sebulan, akhirnya saya memutuskan untuk berobat ke dokter. Hasil pengobatan kali ini tidak menyenangkan. Keluar biaya mahal (sekitar 300 ribu rupiah) tapi batuk tidak kunjung sembuh juga.  Inilah yang menyebabkan pengobatan kedua.

4 November 2008

Setelah batuk tidak sembuh-sembuh juga, saya kembali mengunjungi dokter di RS Borromeus. Kali ini dengan dokter berbeda, obat berbeda, dan hasil yang berbeda. Dengan biaya yang jauh lebih murah dari pengobatan sebelumnya (< 100 ribu rupiah), saya akhirnya berhasil sembuh.

4 Desember 2008

Beberapa hari lalu, karena tiba-tiba panas dan meriang yang tidak sembuh setelah sehari ditunggu, akhirnya sekali lagi saya ke RS Borromeus.  Kata sang dokter sih “bisa infeksi virus biasa, bisa tipes”. Nah karena setelah diberi obat dan beristirahat beberapa hari saya sudah sehat lagi, bisa dipastikan itu bukan tipes. Kali ini biaya yang saya keluarkan tidak terlalu besar, masih di bawah 100 ribu rupiah.

Begitulah kisah saya, sebuah “rekor” baru, dalam kurun waktu 2 bulan 3 kali ke dokter. “Rekor” sebelumnya (bukan rekor ke dokter sih) adalah dalam 1 bulan ngelanggar lalu lintas dan ketangkep polisi 3x (dengan total kerugian Rp 40 ribu rupiah).

Toilet, Lambang Kesetaraan dan Kebebasan Berekspresi

Posted in Tulisan Iseng on September 2, 2008 by ivanwidyarsa

gambar toilet

Pengantar

Toilet, atau disebut juga WC harus diakui tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari kita pasti mengunjungi tempat yang satu ini, baik untuk keperluan kecil-kecilan atau keperluan yang lebih besar. Toilet bisa jadi adalah tempat yang paling banyak dikunjungi seseorang sepanjang hidupnya, namun orang seringkali menganggap remeh keberadaan toilet (dan baru menyadari perannya ketika tidak menemukan satu pun toilet, itu pun hanya sesaat).

Tulisan ini bukanlah tulisan yang betujuan untuk mengangkat martabat toilet, atau mengingatkan orang akan pentingnya kehadiran toilet. Tulisan ini hanya bertujuan untuk mengangkat toilet sebagai icon untuk dua hal yang selalu hangat untuk diperbincangkan, “Kesetaraan antar Manusia” dan “Kebebasan Berekspresi”.

Toilet Sebagai Lambang Kesetaraan

Setiap manusia, pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin, memerlukan toilet. Apapun warna kulit kita, agama kita, ataupun pekerjaan kita, toilet tidak akan membeda-bedakan kita. Dan ada satu hal lagi yang menarik dari aktivitas kita di toilet. Seringkali untuk dapat beraktivitas dengan nyaman dalam toilet, kita harus melepaskan beberapa atribut yang melekat di diri kita. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali atribut-atribut (pakaian) yang kita kenakan itulah yang membuat kita “berbeda” dengan orang lain (entah kita sengaja ataupun tidak), namun di dalam toilet semua itu harus kita lepaskan.

Toilet Sebagai Lambang Kebebasan Berekspresi

Apapun suara yang kita hasilkan selama proses di toilet, tidak akan ada yang melarang (walaupun mungkin masih ada yang mengomentari). Apapun ekspresi wajah, atau gerakan tubuh yang kita lakukan di dalam toilet, tidak ada yang melihat (kecuali ada yang ngintip). Bahkan, bau yang muncul dari proses yang kita lakukan tidak akan dipermasalahkan orang lain (namun pastikan menyiram “hasil” proses kita). Dengan demikian, toilet dapat menjadi suatu “dunia kecil” yang ideal bagi masing-masing orang untuk bebas mengekspresikan dirinya.

Penutup

Demikianlah, sesuatu yang sering dianggap remeh dan tidak berarti, sebuah toilet, dapat mengajarkan kepada kita dua hal yang penting dalam hidup kita.

Yang pertama, ia mengingatkan kita bahwa pada hakekatnya kita adalah manusia yang sama dan sederajat. Manusia sendirilah yang membuat sistem dalam kehidupannya, yang membuat manusia seakan-akan memiliki kelas dan hakekat yang berbeda satu sama lain.

Yang kedua, bahwa ekspresi kita adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita, seperti halnya suara, ekspresi wajah kita, dan bau adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kita di toilet. Dengan demikian, kebebasan berekspresi tidak boleh dikekang dan dilarang, karena pengekangan ekspresi adalah pengekangan terhadap hidup itu sendiri. Namun ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, sebagaimana kita harus menyiram hasil aktivitas kita di toilet, kita juga harus bertanggung jawab pada apapun hasil ekspresi kita. Bahasa singkatnya, bebas namun bertanggung jawab.

Dengan demikian, berakhirlah tulisan ini, sebagai yang pertama dari category “Tulisan Iseng”, semoga bermanfaat bagi kita semua yang menulis dan membacanya.

Love Changes Everything

Posted in Uncategorized on August 1, 2008 by ivanwidyarsa

(Andrew Lloyd Webber)

Love, love changes everything
Hands and faces, earth and sky
Love, love changes everything
How you live and how you die
Love, love can make the summer fly
Or a night seem like a lifetime
Yes love, love changes everything
Now I tremble at your name
Nothing in the world will ever be the same

Love, love changes everything
Days are longer, words mean more
Love, love changes everything
Pain is deeper than before
Love will turn your world around
And that world will last forever
Yes love, love changes everything
Brings you glory, brings you shame
Nothing in the world will ever be the same

Off into the world we go
Planning futures, shaping years
Love (comes in) and suddenly all our wisdom disappears
Love makes fools of everyone
All the rules we made are broken
Yes love, love changes everyone
Live or perish in its flame
Love will never never let you be the same
Love will never never let you be the same

Really like this part.

“… words mean more
Love, love changes everything
Pain is deeper than before…”

It explain a lot of things happened in my past…

Siapa yang takut?

Posted in Paradigma on July 31, 2008 by ivanwidyarsa

Someone : “Van, kamu miara uler ya?”

Ivan : “Iya”

Someone : “Kamu ngga takut?”

Ivan : “Ya ngga lah, kalo takut ngapain gw miara” (sambil ketawa)

Ini adalah cuplikan pembicaraan dengan beberapa orang akhir-akhir ini. Beberapa di sini berarti tiga orang atau lebih. Dan semuanya secara garis besar menanyakan hal yang sama, dan saya juga menjawab dengan jawaban yang sama.

Hal ini cukup menarik, karena (menurut saya) pertanyaan tersebut tidak logis. Jika Anda takut anjing, akankah Anda memelihara anjing? Demikian juga dengan ular, kalo saya takut ular, saya tidak akan memelihara ular. Sebuah logika yang cukup mudah bukan? Nah karena itu, jangan pernah berharap seorang Michael Ivan Widyarsa memelihara ayam.

Tapi, kenapa beberapa orang masih menanyakan hal itu?

Menurut saya, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan spontan, yang diungkapkan karena orang yang bersangkutan takut dengan ular. Ya benar, sesungguhnya mereka lah yang takut dengan ular. Dan secara tidak sadar, mereka “memakaikan” standar mereka kepada orang lain, yang kebetulan adalah saya.

Inilah yang ingin saya soroti pada tulisan ini, bahwa kita seringkali mengenakan standar kita kepada orang lain. Sadar atau tidak, kita seringkali memandang  orang lain berdasarkan sudut pandang kita. Padahal, setiap orang diciptakan unik, dan untuk memahami orang lain kita harus berusaha memandang orang tersebut dari sudut pandang orang itu sendiri. Memang susah, namun tidak mustahil.

Duc in Altum

Posted in Event on July 18, 2008 by ivanwidyarsa

“Duc in Altum (Bertolaklah ke tempat yang dalam)”

Itulah sabda Yesus kepada Simon Petrus dan kawan-kawannya ketika mereka pertama kali bertemu. Dan sabda itu juga yang menjadi semboyan bagi Mgr. Johannes Pujasumarta dalam tugas penggembalaannya yang baru, menjadi uskup bagi Keuskupan Bandung.

Uskup Bandung terdahulu, Mgr. Alexander Soetandio Djajasiswaja meninggal pada tanggal 19 Januari 2006. Dan telah 2 setengah tahun Keuskupan Bandung tidak memiliki seorang uskup. Namun penantian panjang itu telah membuahkan  sukacita pada hari Rabu, 16 Juli 2008, saat uskup terpilih, Mgr. Johannes Pujasumarta, ditahbiskan menjadi Uskup Bandung.

Misa Tahbisan dilaksanakan di Sasana Budaya Ganesha, sarana pertemuan milik Institut Teknologi Bandung. Misa dimulai pukul 4 sore dan berakhir pukul setengah tujuh malam. Setelah itu acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Hadir pula dalam perayaan ini uskup-uskup dari berbagai tempat di Indonesia.

Ada beberapa hal menarik dalam misa ini. Salah satunya, saat selesai komuni, uskup berkeliling untuk memberikan berkat kepada umat. Saat berkeliling, mitra (semacam topi yang dikenakan uskup) bapak Uskup jatuh. Pada acara selanjutnya, yaitu acara sambutan dari beberapa pihak, perwakilan KWI berkelakar bahwa umat keuskupan Bandung dipersilakan untuk mengajukan proposal ke KWI, yaitu proposal untuk melakukan “reboisasi” terhadap kepala Mgr. Pujasumarta, agar di lain kesempatan mitra yang dikenakan tidak jatuh lagi.

Yang tidak kalah menarik adalah saat Mgr. Pujasumarta memberikan sambutan. Beliau memberikan sambutan dalam bahasa Sunda. Karena beliau berasal dari Jawa, tentulah bahasa Sunda yang diucapkan beliau kurang benar dan cukup menggelitik telinga umat yang hadir, sehingga pada beberapa kesempatan umat tertawa terbahak-bahak. Namun usaha bapak Uskup untuk dekat dengan umat gembalaannya patutlah dipuji.

Selamat datang Mgr. Pujasumarta, selamat bertugas, semoga Tuhan selalu menyertai. Amin.